Laman

Halaman

Minggu, 05 Desember 2010

Ada-Ada Saja 4 Betapa ‘Terima Kasih’ Sangatlah Berharga

Ada-Ada Saja 4 Betapa ‘Terima Kasih’ Sangatlah Berharga
Allah Swt berkata, barangsiapa pandai berterima kasih kepada makhluk ciptaanNya, maka ia termasuk orang yang sangat bersyukur kepada Allah ta’ala. Begitulah kurang lebih firmanNya yang saya tanamkan dalam benak saya hingga kemudian saya tetapkan menjadi prinsip hidup. Saya berusaha sebisa mungkin berterima kasih kepadaNya & kepada makhluk ciptaanNya. Oleh karenanya, terkadang apabila saya menyaksikan langsung seseorang yang telah meminta tolong atau bantuan dalam bentuk apapun lalu tidak atau lupa mengucapkan teima kasih, saya jadi memiliki kesimpulan kurang baik kepadanya. Seperti banyak kasus yang sering saya temui di mopen umum (lagi-lagi, pengalaman interaksi utama, di mopen umum), penumpang yang duduk agak jauh dari bel penghenti, kerap kali memerintah seseorang yang dekat dengan bel tersebut lalu lupa berterima kasih atas permintaannya yang telah dipenuhi. Apakah menurut pribadinya permintaan itu tidak perlu ditutup dengan ucapan terima kasih karena seseorang yang telah duduk dekat dengan bel telah dengan sendirinya memiliki kewajiban untuk memencet bel? Kewajiban yang tidak perlu diiringi rasa permohonan tolong?
Suatu ketika di lain cerita. Saya begitu antusias memberikan beberapa hadiah untuk keluarga ‘baru’ sebab pernikahan saya. Bagi saya, hadiah adalah hal yang indah. Bagaimana tidak, gratis tanpa bayar ataupun pakai embel-embel apapun! Kalau saya yang mendapat hadiah, pasti senangnya bukan main dan rasanya suatu saat saya harus turut membalasnya. Tetapi, apa yang saya rasakan lain. Ternyata, keluarga ‘baru’ itu justru menyambut hadiah pemberian saya dan suami dengan respon yang dingin luar biasa. Kami bukan dalam masa konflik atas suatu masalah. Bahkan hubungan silaturrahim kami dalam keadaan yang sehat wal’afiyat. Tetapi kenapa ya, toh realitanya respon yang kami dapatkan justru seolah kami seperti memberikan racun tanpa ada ucapan terima kasih sedikitpun! Oalah... Apakah karena adat istiadat yang telah mendarah daging untuk tidak mengucapkan terima kasih? Atau karena mereka tidak terbiasa mengucapkan terima kasih? Ataukah karena gengsi atas pemberian dari kami yang tidak bernilai tinggi? Mereka cukup berpendidikan untuk bisa berucap terima kasih meskipun –seandainya- adat tidak membiasakan mereka. Kami bukanlah ingin dibanggakan atau dipuja-puja, apalagi mendapatkan balasan atas apa yang telah kami berikan. Kami bukan pula ingin pamer solah kami sudah mampu memberikan hadiah. Saya cukup dengan niat ikhlas dan bahagia mampu memberikan ‘sesuatu’ kepada keluarga yang telah menghiasi kehidupan suami saya sebelum akhirnya berkehidupan bersama saya. Sedih merasa tidak dihargai. Terlebih suami, rautan wajanya menjadi sedikit muram sementara setelah penyerahan itu saya yang berwatak mudah protes, langsung beraksi. Jelas saya tidak terima, sikap aneh demikian. Saya tidak pernah dibiarkan tumbuh tanpa berterima kasih. Setidaknya, saya membutuhkan respon terima kasih meskipun tidak dengan kata-kata. Semoga kebiasaan tidak tahu terima kasih itu mampu kita enyahkan dari kehidupan ummat beragama. Semoga generasi selanjutnya adalah generasi yang penuh terima kasih kepada Tuhan, makhluk, terlebih alam sehingga mampu melestarikan kehidupan yang damai yang serasi, harmonis, dan seimbang. Ada-ada saja.

Ada-Ada Saja 3: Jampok

Ada-Ada Saja 3: Jampok
Saya suka sekali mengamati orang-orang yang ada di sekeliling saya, termasuk saat menjadi penumpang dalam angkutan umum yang dalam seminggu saya menjadi pelanggannya kurang lebih dua kali. Saat berinteraksi dengan orang yang umumnya saya tidak kenali, merupakan pengalaman yang unik sekaligus menjadi catatan cerita tersendiri dalam memori. Maka suatu ketika, seorang gadis hitam manis masuk ke dalam angkutan yang telah telebih dahulu saya tumpangi. Sambil mencuri-curi amat, saya mengamati gerak-geriknya. Kami duduk berhadapan satu sama lain sementara saya mencoba bersikap ramah. Saya simpulkan sedikit senyum. Ya, hanya sedikit, karena saya takut senyuman itu tak dibalas. Saya termasuk seorang yang menghargai senyuman meskipun sedikit dan pengalaman mengajarkan saya bahwa tersenyum lebar belum tentu dibalas dengan niat ikhlas yang sama! Malah saya pernah dicuekin! Hiks. Kali itu, benar seperti ketakutan saya, gadis itu hanya membalas senyuman saya dengan senyuman yang jauh lebih irit dan tatapan matanya yang bulat dengan bulu mata dibuat lentik dan lensa kontak hijau menyamarkan korneanya menatap saya dari ujung rambut sampai ujung kaki tak berkedip! Jelas saya jadi merasa aneh. Kamilah hanya penumpang yang ada di sana. Saya pun akhirnya jadi ikut mengamatinya dari ujung kepala sampai kaki. Sementara matanya mengarah ke luar jendela, saya semakin asik memperhatikan sikap dan penampilannya. Dengan kerudung ungu, kemeja ungu, rok beludru ungu, tas berbahan plastik hitam, sepatu ungu berpita, dan kalung JAMPOK besar tergantung di dadanya menjulur dari rantai hitam plastik. Hahahahahahaha. Kalau di daerah saya, jampok itu memiliki dua makna yang amat penting. Pertama, burung hantu yang cenderung bersifat percaya diri tinggi, kedua, narsis atau lebih tepatnya terlalu cinta diri sendiri dan percaya diri berlebihan. ‘Jampok’ adalah istilah yang biasa digunakan kalangan muda Aceh untuk pengertian yang cenderung negatif dan aneh. Oalah, jelas style saya kalah dari dia. Tingkat ke-matching¬-annya dalam berpakaian tiga tingkat lebih tinggi dari saya! Patutlah saya merasa aneh. Tapi, ternyata lucu juga seseorang yang berpakaian kelewat matching warna, terlebih menggantungkan kepercayaan dirinya di dalam kalung. Hehehe. Benar-benar suatu keunikan yang aneh.

Ada-Ada Saja 2: Investigasi-Investigasian

Ada-Ada Saja 2: Investigasi-Investigasian
Adalah suatu program investigasi khusus orang terkenal namanya. Mungkin program ini muncul karena program gosip untuk selebriti sedang cukup menjadi jamur di saluran-saluran televisi dan digemari orang-orang yang gemar bergosip. Investigasi itu sendiri yang saya tahu adalah mengusut, menyelidiki, ataupun memeriksa suatu hal atau kasus yang terjadi, tetapi dalam hal ini, investigasi dimaksud adalah justru penyelidikan terhadap fenomena-fenomena yang terjadi yang bukan lagi mengenai publik figur. Lho, kok jadi membahas alam bersama pakarnya? Atau malah, membahas fenomena tertentu bersama ustadz? Apakah itu bukan termasuk salah judul program, ya? Atau isinya yang salah program? Ada-Ada Saja

Ada-Ada Saja

Ada-Ada Saja 1: Presiden Lewat, Saya Korupsi! Gawat
Suatu ketika kemacetan menjadi begitu luar biasa di daerah saya, yang terhitung jarang sekali atau bahkan hampir tidak pernah menderita kemacetan seperti kala itu. Sepanjang jalan kota Banda Aceh padat total. Kendaraan berjubal mengantri mendapat jatah jalan. Saya yang hari itu mendapat tugas mengajar di sebuah bimbingan, sudah hampir 15 menit di dalam mopen umum mencoba menerka apa yang terjadi. Masih di jalan yang tidak jauh dari rumah, sebagai mukaddimah dari rentetan kemacetan selanjutnya, saya wondering di hati, kecelakaankah? Aahhh, memang saya orang tidak update, sebenarnya cukup gaul, namun saat itu saya baru saja terlepas dari pekerjaan yang menyita waktu, tenaga, dan pikiran, yakni mengerjakan orderan ketikan! Alhasil, saya tidak tahu, sebelum akhirnya menjadi tahu, bahwa ternyata presiden lewat! OMG! Di jalan utama yang akan mengantarkan saya menuju kota-lah saya menyadari akan kehadiran orang terpenting di Indonesia itu. Ada spanduk besar bertuliskan kurang lebih ‘Selamat Datang Bapak Presiden’. Saya menjadi antusias. Semoga pak pres melintasi mopen yang saya tumpangi, amin. Sebagai penggemar pak pres saya mencoba bersabar menunggu antrian kemacetan yang bising itu. Masih ada 35 menit waktu yang tersisa untuk bisa mencapai lokasi mengajar. Namun sayangnya, mopen itu nyaris tidak banyak berjalan, bahkan hampir diam 10-15 menit, saking ramainya! Oalah, jelas saya panik, wong saya tipikal guru On Time! (Narsis). Saya menggerutu dalam hati. Kenapa presiden lewat sampai harus menghalangi jalan –yang hanya akan dilewati presiden nanti- dan tidak jelas waktunya kapan. Sementara saya, warga negara Indonesia yang sadar dan taat hukum, terpaksa harus menjadi salah satu koruptor. Saya begitu membenci praktek-praktek Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme! Tapi kali itu, sayalah pelakunya. Semoga Allah Swt bukan memaknainya sebagai sebuah dosa. Amin.

Ayahku Buta

Firdaus di siang ini...
Menyengat, perih. Kulitku berlumur keringat. Lecet di telapak tanganku, menambah payah hari ini. Sepasang berharga ini tak cukup tahan merespon panasnya sinar sang surya. Lelahku meringis sejak tadi, namun ayahku tetap diam. Memang selalu begitu, hanya diam.
Aku biasa menjadi kuli angkut barang di pasar, persis di mana aku juga melakukan pekerjaan yang sama. Aku memiliki empat orang adik perempuan, harus memikirkan bagaimana kelangsungan biaya sekolah mereka karena orangtuaku tak sepenuhnya dapat diandalkan. Jabatan mereka cuma kuli. Apalah daya tubuh mamak dan ayahku, kerana beberapa organ penting yang tak berfungsi, maka dapat disimpulkan dengan jelas bahwa takkan ada pekerjaan yang ‘kan cukup memapankan kami, anak-anak mereka, karena keterbatasan-keterbatasan itu. Begitulah garis keturunan kami, amat sangat sederhana.
Ayahku nyaris tidak pernah tersenyum. Bahagianya adalah sekuntum kata terima kasih, dengan bahasa sederhana, kepada siapa saja. Adalah senyum yang tulus akan terlahir jika adik-adikku masuk ke dalam peringkat 10 terbaik di kelas.
Karena ia jarang tersenyum, ia tidak mau tertawa. Mamakku beralasan, tertawa itu takabbur, banyak tertawa saudara syaitan.
Aku dan ayah akan selalu bersama, seperti biasa, kami akan melangkah nyaris ke mana saja berdua. Kecuali, saat aku harus sekolah, karena pasti beliau akan sedang sibuk dengan kerupuk ubi yang adonannya sudah dibuat dan dikeringkan mamak. Maka dipastikan juga saat itu ayah akan sedang duduk di atas jengkok kayu lapuk yang dibuatnya. Duduk ia dihadapan minyak goreng panas dengan suhu api yang cukup menghirup segenap oksigen di sekelilingnya. Setelah itu, dengan sebatang kayu pohon beringin yang cukup kokoh sepanjang satu meter berdiameter lima senti akan menemaninya menuju sekolahku. Sambil meraba-raba badan jalan yang telah diingat seumur hidupnya. Kadang beberapa orang berakhlak dan hati mulia akan dengan sangat terharu membantunya menuju sekolahku. Maka saat-saat itu akan menjadi beberapa patah kalimat sederhana sebagai ceritanya kepadaku, bahwa laki-laki atau perempuan-perempuan itu sungguh malaikat. Seperti itulah akhlak yang diinginkannya ada pada anak-anaknya kelak jika kami kaya nanti. Yah, enam atau tujuh kalimat saja, sisanya, tak perlu ditanya, karena aku sendiri bukan penanya yang baik. Aku tak mau usik pikirnya. Aku bukanlah peminta, apalagi perengek. Cukup yang aku perlu adalah pikirkan masa depan kami.
Akulah yang selalu bangga kepada diriku karena aku merasa menjadi The Thinker, si patung pemikir yang menakjubkan.
Ayah sangat membutuhkan aku, ke mana pun, di mana pun. Seperti saat ini. Lagi.
Aku lelah, gerutuku di hati. “Ayah, tahukah engkau aku ingin sekejap waktu untukku sendiri? Aku ada di puncak titik jenuh, ayah! Aku mau aku! Ah ayah, kenapalah aku perlu merasa bersalah meninggalkna engkau bepergian sendiri? Kalau bukan karena sekelompok orang biadab yang merampokmu itu!” Aku mengamuk si tenggorokanku. Tanpa suara pun terdengar. Hanya desahan nafasku. Entah apa yang ada dalam pikirku saat ini. Saat kucoba hentikan labi-labi yang akan membawa kami ke pasar ikan. Cukup jauh kami berjalan untuk mencapai ini dari kediaman. Nyaris 1 kilometer. Bukan karena ketiadaan angkutan umum yang melewati jalan rumah kami dan sekolahku, tapi kerana empat lembar uang seribu rupiah itu berharga untuk adik-adikku.
Manakala hari tepat berada di tengah puncaknya, seusai sekolah, adalah saat paling tepat untukku nyaman berdo’a, di situlah saatku mengadu pada Allah Swt, Tuhan yang amat kuyakini keberadaannya. Kubermohon semoga Dia mau mempermudah setiap langkah kami, supaya mamakku tak perlu lagi mencuci baju orang, supaya kaki mamakku segera sehat, supaya ketiga adikku bisa terus mengecap bangku sekolah setinggi-tingginya, supaya sepasang mata ayah bisa melihat, supaya ia tahu bahwa deru ombak yang bersyair cinta menurut keyakinannya itu - hal yang sangat ingin dilihatnya - memang adalah hal luar biasa di bumi, dan agar supaya-supaya yang lain yang selalu aku upayakan tiap siang didengar dan diijabahNya. Malam-malamku adalah saat derajatku menjadi lebih tinggi, guru bagi adik-adik yang butuh bimbinganku untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Ah, alangkah bahagianya jadi guru, pekerjaan sederhana, mengoper ilmu tanpa pelit sampai murid pandai. Semoga suatu waktu nanti aku mampu mengangkat derajat keluargaku dengan pekerjaan mulia itu. Toh, aku muak melihat pemimpin-pemimpin omong kosong. Yang dilakukannya hanyalah koleksi dosa. Na’udzubillah.
***
Dinar di siang ini...
Lompatku segera ke atas labi-labi berpintu kecil yang tanpa sengaja kuantukkan kepalaku. “Sial!” desisku. Music player dari handphone paling murah yang pernah kumiliki ini sedikit mengiburku. “I’m tired of being what you want me to be, feeling so faithless. Lost under the surface” bait demi bait kalimat-kalimat itu keluar dari faring Chester Bennington, vokalis band yang amat kugemari. “ ... every step that I take is anther mistake to you!” begitulah aku, bagi papa, adalah kesalahan dalam hidupnya. “I’ve become so numb...” Sungguh muak! Aku benci papa!
Dua orang laki-laki memberhentikan labi-labi yang aku tumpangi. Dari jauh, nampak jelas kalau mereka papa dan anak. Ups, papanya coba meraba. Ia tidak melihat. Kuraih lengannya kubimbing duduk di hadapku. Raut wajah mereka berdua lelah. Putera yang mendampinginya miris sinis melihatku. “Lho, bukan maksud menghina dek, Cuma pengen bantu!” ucapku dalam hati. Nah, dia sendiri yang gak mau bantu papanya!
Ah, papa, lagi-lagi papa! Aku juga punya papa. Dia juga buta. Mata hatinya tak mampu melihat meski bisa. Mungkin karena sistem kerja otaknya telah serusak hatinya oleh karena itu dia jadi tak mampu?
Akan kuingat puncak amarahnya pagi tadi yang telah membawaku menumpangi labi-labi berbau aneh ini. Seluruh benda milikku disitanya! Seluruhnya! Padahal semua itu adalah hasil kerjaku sendiri, modal dari mama! Oh mama, putera manjamu ini rindu mama. Bagaimana kabar mama di sana? Mama, maaf, aku lupa cara mendo’akanmu. Terlalu dini aku mempelajainya hingga aku lupa.
Berita di koran pagi tadi “Skandal Video Mesum Presiden direktur Bank Sabenaraseuki Kembali Terungkap”. Bodoh. Papa memang tidak pandai. Hal sepele semacam itu mampu menjerembabkannya. Dasar perempuan biadab! Mau dapat harta dengan cara yang benar-benar menjijikkan. Ah, itu pasti karma bagi papa. Sebagaimana dulu ia menghamili kekasihnya, mama, di luar nikah demi harta warisan dan nama terhormat yang telah dimiliki kakek. Tragis memang nasib mama. Sesosok perempuan cantik nan anggun yang terkena pola didik liberal sebagaimana yang dianut dan dipolakan kakekkepada anak-anaknya. Mama bukan lugu, hanya sedikit rusak pikirannya karena pola hidupnya di kota. Adalah seorang laki-laki kampung yang diyakininya sepolos-polos laki-laki yang ia kenal, papa, yang dengan alasan tanpa sengaja menghamilinya sehingga terpaksa harus mempertanggungjawabkannya. Ah, Tuhan ampunilah dosa mamaku tercinta.
Berita itu lagi-lagi diangkat wartawan. Cukup sudah malu. Apa kata teman-temanku nanti? Belum lagi dosen-dosenku yang lagaknya macam ustadz yang ‘kan menyindirku di muka kelas. Tepat di wajahku. Padahal telah kuberusaha keras menjadi pelajar yang mampuunggul dan jadi luar biasa dengan bakat alamiku sendiri. Bukan karena papa! Ah, percuma. Toh semua orang buta! Buta seperti papa! Yang dia tahu hanya jelekku, padahal segenap syaraf di otakku memikirkan tiap-tiap pelajaran dan usaha bisnis yang sedang kujalani. Yang papa tahu hanya aku yang tak sengaja kepergok salah seorang premannya di sebuah bar, di salah satu kota terbesar di negeri ini. Papa tak akan mau tahu betapa ku juga mau seperti dia, mengistierahatkan sebentar beban otak dan sel-sel darah yang selalu panas dibakar klien, wartawan, dan masyarakat di dunia gemerlap.
“Pergi! Kalau kamu ingin tunggu kata usiran itu secara jelas dari mulut paapa, maka pergilah! Kamu memang tak ada guna! Tidak akan penah! Yang kamu mau cuma hidupmu sendiri, tanpa pikir nasib papa. Ingat, ini kali terakhir terucap dari dalam mulut papa. Kamu tidak akan dapat apapun dari papa. Bahkan tidak handphone di genggamanmu itu! Anak manja tak tahu diri!”
Maka hanya dengan pakaian di badan, setumpuk uang, yang tiap lembarnya senilai seratus ribu, yang sempat kutarik karena pegawaiku mengatakan akan membutuhkannya siang ini untuk biaya perawatan ibunya, dan hp di genggamanku, aku nekad pergi.
***
Aku asyik menatapi laki-laki muda di hadapan ayah. Telepon genggamnya bagus. Ia nampak asyik medengarkan musik yang keluar langsung ke telinganya melalui earphone yang dipakainya. Ah, alangkah senangya. Pasti lebih rileks. Ayah juga bisa dengar lagu-lagu Rhoma Irama dan Nike Ardhilla dari sana. “Aku simpan gaji lima bulan ini dan ke depan nanti untuk beli itu ya, ayah?” Ah ayah. Pertanyaanku hanya terucap di hati.
***
“So much for my happy ending!” Avril berteriak di telingaku.
Sumpahilah aku papa! Bahagia ku mendengarnya.
‘Kan kututup kisah hari ini dengan senyum Anita dan bundanya di Rumah Sakit Umum Daerah nanti. Dan aku juga akan berjanji kepada almarhumah mama untuk segera mengembalikan Tuhan dalam memoriku.
***
Darussalam, menuju sepertiga malam yang menuju hari ke tujuh bulan Februari tahun 2010.
Inspirasi menulis berbait-bait kalimat ini adalah;
• Seorang anak usia sekolah menengah atas dan yahandanya yang tidak mampu melihat dengan pakaian dan wajah lusuh mereka. Saat-saat itu kuteliti dan menghayalkan sosok mereka di labi-labi yang kutumpangi menuju tempat mengajarku, sebuah bimbingan belajar yang cukup terkemuka se-Indonesia bagi anak sekolah.
• Sedemikian banyak kasus pemimpin zaman sekarang beserta pola kehidupan anak eturunan mereka yang teramat glamor dan angkuh.

Ayahku Buta

Firdaus di siang ini...
Menyengat, perih. Kulitku berlumur keringat. Lecet di telapak tanganku, menambah payah hari ini. Sepasang berharga ini tak cukup tahan merespon panasnya sinar sang surya. Lelahku meringis sejak tadi, namun ayahku tetap diam. Memang selalu begitu, hanya diam.
Aku biasa menjadi kuli angkut barang di pasar, persis di mana aku juga melakukan pekerjaan yang sama. Aku memiliki empat orang adik perempuan, harus memikirkan bagaimana kelangsungan biaya sekolah mereka karena orangtuaku tak sepenuhnya dapat diandalkan. Jabatan mereka cuma kuli. Apalah daya tubuh mamak dan ayahku, kerana beberapa organ penting yang tak berfungsi, maka dapat disimpulkan dengan jelas bahwa takkan ada pekerjaan yang ‘kan cukup memapankan kami, anak-anak mereka, karena keterbatasan-keterbatasan itu. Begitulah garis keturunan kami, amat sangat sederhana.
Ayahku nyaris tidak pernah tersenyum. Bahagianya adalah sekuntum kata terima kasih, dengan bahasa sederhana, kepada siapa saja. Adalah senyum yang tulus akan terlahir jika adik-adikku masuk ke dalam peringkat 10 terbaik di kelas.
Karena ia jarang tersenyum, ia tidak mau tertawa. Mamakku beralasan, tertawa itu takabbur, banyak tertawa saudara syaitan.
Aku dan ayah akan selalu bersama, seperti biasa, kami akan melangkah nyaris ke mana saja berdua. Kecuali, saat aku harus sekolah, karena pasti beliau akan sedang sibuk dengan kerupuk ubi yang adonannya sudah dibuat dan dikeringkan mamak. Maka dipastikan juga saat itu ayah akan sedang duduk di atas jengkok kayu lapuk yang dibuatnya. Duduk ia dihadapan minyak goreng panas dengan suhu api yang cukup menghirup segenap oksigen di sekelilingnya. Setelah itu, dengan sebatang kayu pohon beringin yang cukup kokoh sepanjang satu meter berdiameter lima senti akan menemaninya menuju sekolahku. Sambil meraba-raba badan jalan yang telah diingat seumur hidupnya. Kadang beberapa orang berakhlak dan hati mulia akan dengan sangat terharu membantunya menuju sekolahku. Maka saat-saat itu akan menjadi beberapa patah kalimat sederhana sebagai ceritanya kepadaku, bahwa laki-laki atau perempuan-perempuan itu sungguh malaikat. Seperti itulah akhlak yang diinginkannya ada pada anak-anaknya kelak jika kami kaya nanti. Yah, enam atau tujuh kalimat saja, sisanya, tak perlu ditanya, karena aku sendiri bukan penanya yang baik. Aku tak mau usik pikirnya. Aku bukanlah peminta, apalagi perengek. Cukup yang aku perlu adalah pikirkan masa depan kami.
Akulah yang selalu bangga kepada diriku karena aku merasa menjadi The Thinker, si patung pemikir yang menakjubkan.
Ayah sangat membutuhkan aku, ke mana pun, di mana pun. Seperti saat ini. Lagi.
Aku lelah, gerutuku di hati. “Ayah, tahukah engkau aku ingin sekejap waktu untukku sendiri? Aku ada di puncak titik jenuh, ayah! Aku mau aku! Ah ayah, kenapalah aku perlu merasa bersalah meninggalkna engkau bepergian sendiri? Kalau bukan karena sekelompok orang biadab yang merampokmu itu!” Aku mengamuk si tenggorokanku. Tanpa suara pun terdengar. Hanya desahan nafasku. Entah apa yang ada dalam pikirku saat ini. Saat kucoba hentikan labi-labi yang akan membawa kami ke pasar ikan. Cukup jauh kami berjalan untuk mencapai ini dari kediaman. Nyaris 1 kilometer. Bukan karena ketiadaan angkutan umum yang melewati jalan rumah kami dan sekolahku, tapi kerana empat lembar uang seribu rupiah itu berharga untuk adik-adikku.
Manakala hari tepat berada di tengah puncaknya, seusai sekolah, adalah saat paling tepat untukku nyaman berdo’a, di situlah saatku mengadu pada Allah Swt, Tuhan yang amat kuyakini keberadaannya. Kubermohon semoga Dia mau mempermudah setiap langkah kami, supaya mamakku tak perlu lagi mencuci baju orang, supaya kaki mamakku segera sehat, supaya ketiga adikku bisa terus mengecap bangku sekolah setinggi-tingginya, supaya sepasang mata ayah bisa melihat, supaya ia tahu bahwa deru ombak yang bersyair cinta menurut keyakinannya itu - hal yang sangat ingin dilihatnya - memang adalah hal luar biasa di bumi, dan agar supaya-supaya yang lain yang selalu aku upayakan tiap siang didengar dan diijabahNya. Malam-malamku adalah saat derajatku menjadi lebih tinggi, guru bagi adik-adik yang butuh bimbinganku untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Ah, alangkah bahagianya jadi guru, pekerjaan sederhana, mengoper ilmu tanpa pelit sampai murid pandai. Semoga suatu waktu nanti aku mampu mengangkat derajat keluargaku dengan pekerjaan mulia itu. Toh, aku muak melihat pemimpin-pemimpin omong kosong. Yang dilakukannya hanyalah koleksi dosa. Na’udzubillah.
***
Dinar di siang ini...
Lompatku segera ke atas labi-labi berpintu kecil yang tanpa sengaja kuantukkan kepalaku. “Sial!” desisku. Music player dari handphone paling murah yang pernah kumiliki ini sedikit mengiburku. “I’m tired of being what you want me to be, feeling so faithless. Lost under the surface” bait demi bait kalimat-kalimat itu keluar dari faring Chester Bennington, vokalis band yang amat kugemari. “ ... every step that I take is anther mistake to you!” begitulah aku, bagi papa, adalah kesalahan dalam hidupnya. “I’ve become so numb...” Sungguh muak! Aku benci papa!
Dua orang laki-laki memberhentikan labi-labi yang aku tumpangi. Dari jauh, nampak jelas kalau mereka papa dan anak. Ups, papanya coba meraba. Ia tidak melihat. Kuraih lengannya kubimbing duduk di hadapku. Raut wajah mereka berdua lelah. Putera yang mendampinginya miris sinis melihatku. “Lho, bukan maksud menghina dek, Cuma pengen bantu!” ucapku dalam hati. Nah, dia sendiri yang gak mau bantu papanya!
Ah, papa, lagi-lagi papa! Aku juga punya papa. Dia juga buta. Mata hatinya tak mampu melihat meski bisa. Mungkin karena sistem kerja otaknya telah serusak hatinya oleh karena itu dia jadi tak mampu?
Akan kuingat puncak amarahnya pagi tadi yang telah membawaku menumpangi labi-labi berbau aneh ini. Seluruh benda milikku disitanya! Seluruhnya! Padahal semua itu adalah hasil kerjaku sendiri, modal dari mama! Oh mama, putera manjamu ini rindu mama. Bagaimana kabar mama di sana? Mama, maaf, aku lupa cara mendo’akanmu. Terlalu dini aku mempelajainya hingga aku lupa.
Berita di koran pagi tadi “Skandal Video Mesum Presiden direktur Bank Sabenaraseuki Kembali Terungkap”. Bodoh. Papa memang tidak pandai. Hal sepele semacam itu mampu menjerembabkannya. Dasar perempuan biadab! Mau dapat harta dengan cara yang benar-benar menjijikkan. Ah, itu pasti karma bagi papa. Sebagaimana dulu ia menghamili kekasihnya, mama, di luar nikah demi harta warisan dan nama terhormat yang telah dimiliki kakek. Tragis memang nasib mama. Sesosok perempuan cantik nan anggun yang terkena pola didik liberal sebagaimana yang dianut dan dipolakan kakekkepada anak-anaknya. Mama bukan lugu, hanya sedikit rusak pikirannya karena pola hidupnya di kota. Adalah seorang laki-laki kampung yang diyakininya sepolos-polos laki-laki yang ia kenal, papa, yang dengan alasan tanpa sengaja menghamilinya sehingga terpaksa harus mempertanggungjawabkannya. Ah, Tuhan ampunilah dosa mamaku tercinta.
Berita itu lagi-lagi diangkat wartawan. Cukup sudah malu. Apa kata teman-temanku nanti? Belum lagi dosen-dosenku yang lagaknya macam ustadz yang ‘kan menyindirku di muka kelas. Tepat di wajahku. Padahal telah kuberusaha keras menjadi pelajar yang mampuunggul dan jadi luar biasa dengan bakat alamiku sendiri. Bukan karena papa! Ah, percuma. Toh semua orang buta! Buta seperti papa! Yang dia tahu hanya jelekku, padahal segenap syaraf di otakku memikirkan tiap-tiap pelajaran dan usaha bisnis yang sedang kujalani. Yang papa tahu hanya aku yang tak sengaja kepergok salah seorang premannya di sebuah bar, di salah satu kota terbesar di negeri ini. Papa tak akan mau tahu betapa ku juga mau seperti dia, mengistierahatkan sebentar beban otak dan sel-sel darah yang selalu panas dibakar klien, wartawan, dan masyarakat di dunia gemerlap.
“Pergi! Kalau kamu ingin tunggu kata usiran itu secara jelas dari mulut paapa, maka pergilah! Kamu memang tak ada guna! Tidak akan penah! Yang kamu mau cuma hidupmu sendiri, tanpa pikir nasib papa. Ingat, ini kali terakhir terucap dari dalam mulut papa. Kamu tidak akan dapat apapun dari papa. Bahkan tidak handphone di genggamanmu itu! Anak manja tak tahu diri!”
Maka hanya dengan pakaian di badan, setumpuk uang, yang tiap lembarnya senilai seratus ribu, yang sempat kutarik karena pegawaiku mengatakan akan membutuhkannya siang ini untuk biaya perawatan ibunya, dan hp di genggamanku, aku nekad pergi.
***
Aku asyik menatapi laki-laki muda di hadapan ayah. Telepon genggamnya bagus. Ia nampak asyik medengarkan musik yang keluar langsung ke telinganya melalui earphone yang dipakainya. Ah, alangkah senangya. Pasti lebih rileks. Ayah juga bisa dengar lagu-lagu Rhoma Irama dan Nike Ardhilla dari sana. “Aku simpan gaji lima bulan ini dan ke depan nanti untuk beli itu ya, ayah?” Ah ayah. Pertanyaanku hanya terucap di hati.
***
“So much for my happy ending!” Avril berteriak di telingaku.
Sumpahilah aku papa! Bahagia ku mendengarnya.
‘Kan kututup kisah hari ini dengan senyum Anita dan bundanya di Rumah Sakit Umum Daerah nanti. Dan aku juga akan berjanji kepada almarhumah mama untuk segera mengembalikan Tuhan dalam memoriku.
***
Darussalam, menuju sepertiga malam yang menuju hari ke tujuh bulan Februari tahun 2010.
Inspirasi menulis berbait-bait kalimat ini adalah;
• Seorang anak usia sekolah menengah atas dan yahandanya yang tidak mampu melihat dengan pakaian dan wajah lusuh mereka. Saat-saat itu kuteliti dan menghayalkan sosok mereka di labi-labi yang kutumpangi menuju tempat mengajarku, sebuah bimbingan belajar yang cukup terkemuka se-Indonesia bagi anak sekolah.
• Sedemikian banyak kasus pemimpin zaman sekarang beserta pola kehidupan anak eturunan mereka yang teramat glamor dan angkuh.

Ayahku Buta

Firdaus di siang ini...
Menyengat, perih. Kulitku berlumur keringat. Lecet di telapak tanganku, menambah payah hari ini. Sepasang berharga ini tak cukup tahan merespon panasnya sinar sang surya. Lelahku meringis sejak tadi, namun ayahku tetap diam. Memang selalu begitu, hanya diam.
Aku biasa menjadi kuli angkut barang di pasar, persis di mana aku juga melakukan pekerjaan yang sama. Aku memiliki empat orang adik perempuan, harus memikirkan bagaimana kelangsungan biaya sekolah mereka karena orangtuaku tak sepenuhnya dapat diandalkan. Jabatan mereka cuma kuli. Apalah daya tubuh mamak dan ayahku, kerana beberapa organ penting yang tak berfungsi, maka dapat disimpulkan dengan jelas bahwa takkan ada pekerjaan yang ‘kan cukup memapankan kami, anak-anak mereka, karena keterbatasan-keterbatasan itu. Begitulah garis keturunan kami, amat sangat sederhana.
Ayahku nyaris tidak pernah tersenyum. Bahagianya adalah sekuntum kata terima kasih, dengan bahasa sederhana, kepada siapa saja. Adalah senyum yang tulus akan terlahir jika adik-adikku masuk ke dalam peringkat 10 terbaik di kelas.
Karena ia jarang tersenyum, ia tidak mau tertawa. Mamakku beralasan, tertawa itu takabbur, banyak tertawa saudara syaitan.
Aku dan ayah akan selalu bersama, seperti biasa, kami akan melangkah nyaris ke mana saja berdua. Kecuali, saat aku harus sekolah, karena pasti beliau akan sedang sibuk dengan kerupuk ubi yang adonannya sudah dibuat dan dikeringkan mamak. Maka dipastikan juga saat itu ayah akan sedang duduk di atas jengkok kayu lapuk yang dibuatnya. Duduk ia dihadapan minyak goreng panas dengan suhu api yang cukup menghirup segenap oksigen di sekelilingnya. Setelah itu, dengan sebatang kayu pohon beringin yang cukup kokoh sepanjang satu meter berdiameter lima senti akan menemaninya menuju sekolahku. Sambil meraba-raba badan jalan yang telah diingat seumur hidupnya. Kadang beberapa orang berakhlak dan hati mulia akan dengan sangat terharu membantunya menuju sekolahku. Maka saat-saat itu akan menjadi beberapa patah kalimat sederhana sebagai ceritanya kepadaku, bahwa laki-laki atau perempuan-perempuan itu sungguh malaikat. Seperti itulah akhlak yang diinginkannya ada pada anak-anaknya kelak jika kami kaya nanti. Yah, enam atau tujuh kalimat saja, sisanya, tak perlu ditanya, karena aku sendiri bukan penanya yang baik. Aku tak mau usik pikirnya. Aku bukanlah peminta, apalagi perengek. Cukup yang aku perlu adalah pikirkan masa depan kami.
Akulah yang selalu bangga kepada diriku karena aku merasa menjadi The Thinker, si patung pemikir yang menakjubkan.
Ayah sangat membutuhkan aku, ke mana pun, di mana pun. Seperti saat ini. Lagi.
Aku lelah, gerutuku di hati. “Ayah, tahukah engkau aku ingin sekejap waktu untukku sendiri? Aku ada di puncak titik jenuh, ayah! Aku mau aku! Ah ayah, kenapalah aku perlu merasa bersalah meninggalkna engkau bepergian sendiri? Kalau bukan karena sekelompok orang biadab yang merampokmu itu!” Aku mengamuk si tenggorokanku. Tanpa suara pun terdengar. Hanya desahan nafasku. Entah apa yang ada dalam pikirku saat ini. Saat kucoba hentikan labi-labi yang akan membawa kami ke pasar ikan. Cukup jauh kami berjalan untuk mencapai ini dari kediaman. Nyaris 1 kilometer. Bukan karena ketiadaan angkutan umum yang melewati jalan rumah kami dan sekolahku, tapi kerana empat lembar uang seribu rupiah itu berharga untuk adik-adikku.
Manakala hari tepat berada di tengah puncaknya, seusai sekolah, adalah saat paling tepat untukku nyaman berdo’a, di situlah saatku mengadu pada Allah Swt, Tuhan yang amat kuyakini keberadaannya. Kubermohon semoga Dia mau mempermudah setiap langkah kami, supaya mamakku tak perlu lagi mencuci baju orang, supaya kaki mamakku segera sehat, supaya ketiga adikku bisa terus mengecap bangku sekolah setinggi-tingginya, supaya sepasang mata ayah bisa melihat, supaya ia tahu bahwa deru ombak yang bersyair cinta menurut keyakinannya itu - hal yang sangat ingin dilihatnya - memang adalah hal luar biasa di bumi, dan agar supaya-supaya yang lain yang selalu aku upayakan tiap siang didengar dan diijabahNya. Malam-malamku adalah saat derajatku menjadi lebih tinggi, guru bagi adik-adik yang butuh bimbinganku untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Ah, alangkah bahagianya jadi guru, pekerjaan sederhana, mengoper ilmu tanpa pelit sampai murid pandai. Semoga suatu waktu nanti aku mampu mengangkat derajat keluargaku dengan pekerjaan mulia itu. Toh, aku muak melihat pemimpin-pemimpin omong kosong. Yang dilakukannya hanyalah koleksi dosa. Na’udzubillah.
***
Dinar di siang ini...
Lompatku segera ke atas labi-labi berpintu kecil yang tanpa sengaja kuantukkan kepalaku. “Sial!” desisku. Music player dari handphone paling murah yang pernah kumiliki ini sedikit mengiburku. “I’m tired of being what you want me to be, feeling so faithless. Lost under the surface” bait demi bait kalimat-kalimat itu keluar dari faring Chester Bennington, vokalis band yang amat kugemari. “ ... every step that I take is anther mistake to you!” begitulah aku, bagi papa, adalah kesalahan dalam hidupnya. “I’ve become so numb...” Sungguh muak! Aku benci papa!
Dua orang laki-laki memberhentikan labi-labi yang aku tumpangi. Dari jauh, nampak jelas kalau mereka papa dan anak. Ups, papanya coba meraba. Ia tidak melihat. Kuraih lengannya kubimbing duduk di hadapku. Raut wajah mereka berdua lelah. Putera yang mendampinginya miris sinis melihatku. “Lho, bukan maksud menghina dek, Cuma pengen bantu!” ucapku dalam hati. Nah, dia sendiri yang gak mau bantu papanya!
Ah, papa, lagi-lagi papa! Aku juga punya papa. Dia juga buta. Mata hatinya tak mampu melihat meski bisa. Mungkin karena sistem kerja otaknya telah serusak hatinya oleh karena itu dia jadi tak mampu?
Akan kuingat puncak amarahnya pagi tadi yang telah membawaku menumpangi labi-labi berbau aneh ini. Seluruh benda milikku disitanya! Seluruhnya! Padahal semua itu adalah hasil kerjaku sendiri, modal dari mama! Oh mama, putera manjamu ini rindu mama. Bagaimana kabar mama di sana? Mama, maaf, aku lupa cara mendo’akanmu. Terlalu dini aku mempelajainya hingga aku lupa.
Berita di koran pagi tadi “Skandal Video Mesum Presiden direktur Bank Sabenaraseuki Kembali Terungkap”. Bodoh. Papa memang tidak pandai. Hal sepele semacam itu mampu menjerembabkannya. Dasar perempuan biadab! Mau dapat harta dengan cara yang benar-benar menjijikkan. Ah, itu pasti karma bagi papa. Sebagaimana dulu ia menghamili kekasihnya, mama, di luar nikah demi harta warisan dan nama terhormat yang telah dimiliki kakek. Tragis memang nasib mama. Sesosok perempuan cantik nan anggun yang terkena pola didik liberal sebagaimana yang dianut dan dipolakan kakekkepada anak-anaknya. Mama bukan lugu, hanya sedikit rusak pikirannya karena pola hidupnya di kota. Adalah seorang laki-laki kampung yang diyakininya sepolos-polos laki-laki yang ia kenal, papa, yang dengan alasan tanpa sengaja menghamilinya sehingga terpaksa harus mempertanggungjawabkannya. Ah, Tuhan ampunilah dosa mamaku tercinta.
Berita itu lagi-lagi diangkat wartawan. Cukup sudah malu. Apa kata teman-temanku nanti? Belum lagi dosen-dosenku yang lagaknya macam ustadz yang ‘kan menyindirku di muka kelas. Tepat di wajahku. Padahal telah kuberusaha keras menjadi pelajar yang mampuunggul dan jadi luar biasa dengan bakat alamiku sendiri. Bukan karena papa! Ah, percuma. Toh semua orang buta! Buta seperti papa! Yang dia tahu hanya jelekku, padahal segenap syaraf di otakku memikirkan tiap-tiap pelajaran dan usaha bisnis yang sedang kujalani. Yang papa tahu hanya aku yang tak sengaja kepergok salah seorang premannya di sebuah bar, di salah satu kota terbesar di negeri ini. Papa tak akan mau tahu betapa ku juga mau seperti dia, mengistierahatkan sebentar beban otak dan sel-sel darah yang selalu panas dibakar klien, wartawan, dan masyarakat di dunia gemerlap.
“Pergi! Kalau kamu ingin tunggu kata usiran itu secara jelas dari mulut paapa, maka pergilah! Kamu memang tak ada guna! Tidak akan penah! Yang kamu mau cuma hidupmu sendiri, tanpa pikir nasib papa. Ingat, ini kali terakhir terucap dari dalam mulut papa. Kamu tidak akan dapat apapun dari papa. Bahkan tidak handphone di genggamanmu itu! Anak manja tak tahu diri!”
Maka hanya dengan pakaian di badan, setumpuk uang, yang tiap lembarnya senilai seratus ribu, yang sempat kutarik karena pegawaiku mengatakan akan membutuhkannya siang ini untuk biaya perawatan ibunya, dan hp di genggamanku, aku nekad pergi.
***
Aku asyik menatapi laki-laki muda di hadapan ayah. Telepon genggamnya bagus. Ia nampak asyik medengarkan musik yang keluar langsung ke telinganya melalui earphone yang dipakainya. Ah, alangkah senangya. Pasti lebih rileks. Ayah juga bisa dengar lagu-lagu Rhoma Irama dan Nike Ardhilla dari sana. “Aku simpan gaji lima bulan ini dan ke depan nanti untuk beli itu ya, ayah?” Ah ayah. Pertanyaanku hanya terucap di hati.
***
“So much for my happy ending!” Avril berteriak di telingaku.
Sumpahilah aku papa! Bahagia ku mendengarnya.
‘Kan kututup kisah hari ini dengan senyum Anita dan bundanya di Rumah Sakit Umum Daerah nanti. Dan aku juga akan berjanji kepada almarhumah mama untuk segera mengembalikan Tuhan dalam memoriku.
***
Darussalam, menuju sepertiga malam yang menuju hari ke tujuh bulan Februari tahun 2010.
Inspirasi menulis berbait-bait kalimat ini adalah;
• Seorang anak usia sekolah menengah atas dan yahandanya yang tidak mampu melihat dengan pakaian dan wajah lusuh mereka. Saat-saat itu kuteliti dan menghayalkan sosok mereka di labi-labi yang kutumpangi menuju tempat mengajarku, sebuah bimbingan belajar yang cukup terkemuka se-Indonesia bagi anak sekolah.
• Sedemikian banyak kasus pemimpin zaman sekarang beserta pola kehidupan anak eturunan mereka yang teramat glamor dan angkuh.